
Survey
Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan terjadinya
peningkatan jumlah perokok yang mulai merokok pada usia di bawah usia 19
tahun, dari 69 % pada tahun 2001 menjadi 78 % pada tahun 2004. Survey
ini juga menunjukkan trend usia inisiasi merokok menjadi semakin dini,
yakni usia 5-9 tahun. Perokok yang mulai merokok pada usia 5-9 tahun
mengalami peningkatan yang paling signifikan, dari 0,4 % pada tahun 2001
menjadi 1,8 % pada tahun 2004.
Remaja mulai merokok umur 7 – 12 tahun sebanyak 20,84 % untuk laki-laki dan 4, 17 % untuk perempuan.
Umur 13-15 tahun laki-laki sebanyak 12,50 % dan bagi perempuan sebanyak 8,33 %.
Umur 16 – 18 tahun laki-laki sebanyak 47,92 % dan bagi anak perempuan sebanyak 6,25 %.
Semua
ahli kesehatan termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah lama
menyimpulkan, bahwa secara kesehatan, rokok banyak menimbulkan dampak
negatif, lebih-lebih bagi anak dan masa depannya. Rokok mengandung 4000
zat kimia dengan 200 jenis di antaranya bersifat karsinogenik (dapat
menyebabkan kanker), di mana bahan racun ini didapatkan pada asap utama
maupun asap samping, misalnya karbon monoksida, benzopiren, dan
amoniak.[3]
Sayangnya menyerukan ajakan berhenti merokok di negeri
ini ibarat berteriak di padang pasir nan luas tak berbatas. Sekeras
apapun, sampai suara serak dan urat leher meregang sekeras apapun, tidak
ada orang mengabaikannya. Sebabnya jelas, banyak pihak sangat
berkepentingan dengan rokok; lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi,
penyangga APBN, sampai penjamin keberlangsungan kompetisi olah raga yang
secara nalar mestinya berlawanan.
Keuntungan di atas kematian
Departemen
Perindustrian dalam road map industri rokok 2007-2020 menyebutkan bahwa
pemerintah mentargetkan peningkatan produksi rokok dari 220 miliar
batang pada tahun 2007, menjadi 240 miliar batang pada tahun 2010-2015,
dan terus meningkat menjadi 260 miliar batang pada tahun 2015-2020.
(Suara Pembaruan, 7 Januari 2008).
Pemerintah begitu bangganya
menyusun target-target pertumbuhan industri rokok karena pada kondisi
seperti sekarang saja dari cukai rokok memberikan 57 trilyun rupiah
setahun. Bandingkan dengan kontribusi Freport yang sering diributkan itu
hanya memberi kontribusi Rp 1 trilyun rupiah setahun. Tak pelak bila
sampai sekarang pemerintah RI satu-satunya negara di Asia yang tidak mau
meratifikasiFramework Convention on Tobacco Control (FCTC), walaupun
Indonesia adalah 1 dari 192 negara anggota WHO, dan 137 di antaranya
telah meratifikasi FCTC tersebut.
Demi 57 trilyun rupiah per
tahun, rakyat dikorbankan, rakyat didorong untuk membeli rokok, rakyat
dirayu untuk menghisap racun yang mematikan secara perlahan. Inilah yang
disebut sebagai politik ekonomi profiting from death (menuai keuntungan
dari kematian). Lagi-lagi korbannya dari penduduk miskin, karena
konsumsi terbesar rokok dilakukan oleh kelompok miskin.
Yang
mengerikan, “penanggukkan keuntungan dari kematian” itu bukan hanya dari
orang dewasa yang dalam setiap hisapan asap rokok menyadari bahaya
yang ditimbulkannya, tetapi juga dari anak-anak yang semestinya
diberikan hak lingkungan sehat dan dilindungi dari racun pembunuh
nikotin dan zat adiktif sejenisnya.
Konstatasi di atas berangkat
dari kenyataan bahwa dalam dua dekade terakhir prevalensi perokok usia
muda atau usia pertama kali merokok terus meningkat pesat. Menurut data
pada Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah perokok pemula, yakni umur 5-9
tahun , naik secara signifikan. Hanya dalam tempo tiga tahun (2001-2004)
persentase perokok pemula naik dari 0,4 menjadi 2,8 persen.
Data
tersebut didukung oleh hasil penelitikan Lembaga Penelitian Masyarakat
(LPM) Universitas Andalas mengenai pencegahan merokok bagi anak di
bawah 18 tahun, yang dilakukan di kota Padang menunjukkan lebih dari 50 %
responden memulai merokok sebelum usia 13 tahun. Intinya, bila
sebelumnya anak merokok pertama kali pada usia belasan tahun, sekarang
bergeser menjadi 5 – 9 tahun atau rata-rata 7 tahun![4]
Mereka
merokok pada usia dini karena lingkungan mengkondisikan demikian. Di
tingkat negara tidak ada aturan yang mengendalikan peredaran tembakau.
Di rumah orang dewasa merokok tanpa mempedulikan kesehatan anak-anak. Di
sekolah kita sering mendapati seorang guru mengajar sambil merokok. Di
masjid kita lihat ustad atau kiai tanpa beban tetap merokok. Di
mana-mana, di setiap ruang publik anak-anak melihat para tokoh idola
mereka seperti penyanyi, bintang sinetron, tokoh politik, Menteri, dan
banyak dokter di ruang praktek juga merokok, sehingga membuat mereka
ingin tahu dan ingin mencoba, hingga akhirnya ketagihan.
Pesta Iklan
Lebih-lebih
dengan keberadaan iklan rokok yang tidak terkendali, membuat anak-anak
Indonesia hanya dalam sedikit pilihan untuk tidak merokok. Iklan rokok
di Indonesia menyerbu ke semua segmen media publik. Menurut survey AC
Nielsen, pada tahun 2006 belanja iklan industri rokok mencapai Rp 1,6
trilyun, atau kedua terbesar setelah belanja iklan sektor telekomunikasi
(Rp 1,9 trilyun).
Berdasarkan hasil Evaluasi Pengawasan Iklan
Rokok tahun 2006, badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mencatat
terdapat 14.249 iklan rokok yang tersebar di seluruh media elektronik,
media luar ruang, dan media cetak, dengan proporsi terbesar di media
elektronik yang mencapai 9.230 iklan.
Selain melalui iklan,
promosi merek rokok dilakukan dengan menyelenggarakan event dan
menyeponsori event-event tertentu yang dilakukan secara agresif oleh
industri rokok. Hampir setiap merek rokok mempunyai event atau menjadi
sponsor pada acara-acara musik, olahraga, baik di luar ruang maupun di
televise. Dari pemantauan Komnas Perlindungan Anak pada periode
Januari-Oktober 2007 tercatat ada 1350 kali kegiatan yang
diselenggarakan atau disponsori industri rokok, atau rata-rata sekitar
135 kegiatan setiap bulannya.
Agresifitas iklan, promosi dan
kegiatan sponsor oleh industri rokok telah berkontribusi meningkatkan
konsumsi tembakau di Indonesia, terutama konsumsi tembakau oleh anak.
Hal ini karena mayoritas target pasar industri rokok adalah anak muda,
sehingga seluruh bentuk pemasaran, ditujukan untuk menjerat anak-anak
untuk menjadi perokok pemula. Belum lagi dengan pembagian langsung
produk rokok dalam suatu event, menjadikan anak-anak dimanjakan untuk
memperoleh pengalaman baru. Merokok.
Iklan-iklan rokok juga dibuat
provokatif, kreatif, dan selalu di up date. Kalimat-kalimat jitu yang
mampu menerkam perasaan remaja selalu berhasil diracunkan seperti;
“Jangan Basa Basi”, “Mana Xpresimu”, “U are U”, “Pria Punya Selera”,
“Nggak Ada Lu Nggak Ramai”, “Kapan Kawin?”, “Siang Dipendam Malam Balas
Dendam”, “Buktikan Merahmu”, dan sebagainya.
Dengan iklan-iklan
yang demikian provokatif dan menguasai semua ruang publik serta media
massa cetak maupun elektronik, dapat dipastikan sasarannya adalah anak
muda remaja. Iklan-iklan rokok yang ada secara sistematis telah
memudakan prevalensi merokok pada anak-anak.
Regulasi tentang
rokok pembatasan rokok memang ada tetapi masih sangat minim. Regulasi
yang ada baru berupa Peraturan Pemerintah (PP) No 19 tahun 2003 tentang
pengamanan rokok bagi kesehatan. Pada Bagian Kelima tentang iklan dan
Promosi pasal 16 menyebutkan bahwa iklan dan promosi rokok hanya dapat
dilakukan oleh setiap orang yang memproduksi rokok dan/atau yang
memasukkan rokok ke dalam wilayah Indonesia, dapat dilakukan di media
elektronik, media massa cetak atau media luar ruang. Iklan pada media
massa elektronik hanya dapat dilakukan pada pukul 21.30 sampai dengan
pukul 05.00 waktu setempat. Ketentuan tersebut ternyata tidak efektif
untuk membendung keinginan masyarakat untuk tetap merokok termasuk
anak-anak. Dengan besarnya dana yang industri rokok kucurkan untuk
belanja iklan, maka tak heran bila semua jenis media telah didominasi
dengan iklan-iklan rokok. Di media luar ruang pun, tak ada lagi ruang
kosong tanpa reklame-reklame raksasa iklan rokok yang mendominasi
jalan-jalan raya di Indonesia.
Ini berbeda dengan negara-negara
lain yang lebih peka dalam melindungi warganya dari racun rokok yang
mematikan. Di Asia semua negara sudah meratifikasi Framwork Convention
on Tobacco Control (FCTC), tetapi Indonesia tidak melakukannya.
Negara-negara tetangga kita pun seperti Singapura, Malaysia, dan
Thailand tidak ada yang mengijinkan iklan rokok di ruang terbuka, tetapi
di Indonesia diijinkan bahkan oleh pemerintah disetting sebagai salah
satu pemasukan dari dari pajak iklan. Bahkan untuk kegiatan Corporate
Social Responcibility (CSR) dari industri rokok yang mestinya tidak
mencantumkan merek, dalam kenyataannya tetap mencantumkan merek.
Wajib melindungi anak
Akankah
kita diam saja dengan alasan rokok adalah sumber pendapatan negara?
Mungkin itu benar. Dengan kenyataan tersebut pemerintah tidak boleh
tinggal diam seakan tidak mau tahu. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan;” Pemerintah wajib
menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang
komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan
yang optimal sejak dalam kandungan”.
Dengan membiarkan peredaran
rokok tidak terkendali berarti pemerintah tidak menjalankan amanat
undang-undang tersebut. Dengan kata lain, pemerintah tidak melidungi
anak-anak yang jumlahnya 35 persen dari seluruh penduduk Indonesia,
tetapi 100 persen pemilik masa depan.
Untuk itu, saatnya
pemerintah mengambil tindakan nyata dengan memberikan perlindungan yang
memadai bagi anak-anak dari bahaya merokok. Uang memang penting untuk
membiayai pembangunan negeri, tetapi kesehatan anak-anak jauh lebih
penting
karena mereka yang akan menjamin kelangsungan keberadaan negeri ini.
Kita bisa memastikan bahwa ketahanan nasional hanya akan tercapai bila
ada ketahanan masyarakat. Ketahanan masyarakat akan tercapai bila ada
ketahanan keluarga. Dan ketahanan keluarga akan bisa diwujudkan manakala
anggota keluarga, anak-anak dalam kondisi sehat jiwa dan raga, tidak
hidup dalam ketergantungan nikotin, alkohol, narkoba, maupun zat-zat
adiktif lain.
Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila
anak-anak pada masa sekarang tercemar oleh racun adiktif, tidak akan
lahir kepemimpinan di masa mendatang yang berkualitas baik pisik maupun
psikis, bahkan sebagian mati muda karena rokok, yang semestinya justru
sangat diperlukan untuk memimpin negeri ini ke depan dalam menghadapi
berbagai gangguan, ancaman, tantangan dan hambatan.
Sikap paradoksal
Amerika
adalah negeri yang sadar betul akan bahaya merokok, maka pembatasan
peredaran rokok terus-menerus dikontrol oleh negara. Akibat peraturan
dan larangan yang ketat serta denda yang cukup besar bagi orang yang
kedapatan merokok di tempat umum, Philip Morris, pemilik pabrik rokok
terbesar di AS yang menghasilkan Marlboro mengalihkan usahanya ke
negara-negara miskin yang banyak utangnya seperti Indonesia dengan
memasang iklan-iklan raksasa di simpang jalan yang strategis.
Mereka
datang mendirikan pabriknya di Jawa Timur dengan nama PT Philip Morris
Indonesia Malang, dan membeli saham PT Sampurna sebanyak 1.753.200.000
lembar saham, dengan maksud untuk mengeruk keuntungan milyaran rupiah
dan menumbuhkan jutaan sampah beracun yang sangat berbahaya bagi
kesehatan rakyat Indonesia. Tanpa disadarinya, penduduk negeri miskin
dan terbelakang yang yang masih berkutat dengan kemiskinan dan mayoritas
penduduknya berpredikat Muslim ini menyambutnya dengan kepulan asap
dari sebatang rokok yang mengandung 14 mg tar dan 1,0 mg nikotin jenis
polisiklik hidrokarbon sambil mengucapkan lafal agamis sangat fasih;
Alhamdulillah!
Luis de Torres adalah orang Yahudi pertama yang
terusir dari Spanyol yang ikut expedidi Colombus dan berhasil menemukan
manfaat tembakau. Torres kemudian mendiami Kuba dan menjadi good father
Yahudi dalam menguasai bisnis tembakau di dunia. Usaha ini berkembang
dan salah satu yang berhasil mengembangkan sayapnya ke Indonesia adalah
Philip Morris yang sekarang bermarkas di Malang.
Badan Intelgen
Pusat Amerika Serikat (CIA), berhasil mengungkap bahwa Philip Morris
menyumbangkan 12 % dari keuntungan bersihnya ke Israel. Perlu diketahui
bahwa jumlah perokok di seluruh dunia mencapai 1,5 milyar orang, 400
juta di antaranya adalah perokok Muslim, atau sekitar 35 % dari jumlah
perokok dunia. Laba yang diraih oleh produsen bermerek Marlboro, Merit,
Benson & Hedges setiap bungkusnya mencapai 10 %.
Nah berapa
juta dollar yang telah disumbangkan oleh para perokok Muslim kepada
zionis Israel untuk membeli persenjataan guna menyiksa dan membunuh
saudara-saudaranya di Palestina? Jadi di hadapan kita, tanpa disadari
telah terjadi situasi yang sangat paradoksal karena kita berteriak anti
zionis Israel tetapi sambil mengepulkan asap rokok, di mana dari asap
rokok itu kekuatan zionis memperoleh sumber keuangan. Jadi mau tidak mau
kita harus berkata;”How silly of me….”.
Rekomendasi
Demi menyelamatkan anak dari bahaya rokok, maka pemerintah wajib segera melakukan aksi konkret.
Pertama,
segera meratifikasi konvensi pengendalian tembakau (FCTC). Tentu butuh
keberanian karena industri rokok dengan kekuatan uangnya pasti akan
melakukan penentangan. Dalam FCTC diatur secara tegas kadar nikotin pada
rokok dan tata cara beriklan yang lebih beradab, bila perlu larang
seluruh bentuk iklan di manapun di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Kedua,
Bebaskan sama sekali negeri ini dari iklan rokok di ruang publik mana
pun. Di singapura, di Malayisa, di Thailand, di Jepang, dan berbagai
negara beradab lainnya kita tidak menemukan billboard iklan rokok, juga
di televisi. Tanpa iklan sekali pun, rokok tetap akan dikonsumsi massal.
Seperti halnya narkoba, yang tanpa iklanpun produksi dan konsumsinya
terus meningkat dari hari ke hari.
Ketiga, Perlu segera
diintrodusir undang-undang perlindungan anak dari bahaya rokok.
Setidaknya, masukkan ketentuan-ketentuan bahaya rokok bagi anak dalam
revisi Undang-Undang Kesehatan yang sedang dipersiapkan. Dalam UU ini
harus memuat ketentuan; larangan anak merokok, larangan
memperjualbelikan rokok kepada anak; larangan mempekerjakan anak di
pabrik rokok, larangan ibu hamil merokok, dan larangan merokok di depan
ibu hamil.
Keempat, agar barang rokok tidak mudah diperoleh, maka
cukai rokok harus dinaikkan setinggi-tingginya, tetapi produksi rokok
harus ditekan serendah-rendahnya.
Kelima, buat ketentuan yang
melarang pabrik rokok menjadi sponsor dalam kegiatan olah raga, seni,
maupun kegiatan keilmuan. Kegiatan sponsorhip pada kegiatan olah raga,
seni dan kelilmuan akan menjadi model legitimasi keberadaan mereka di
tengah masyarakat, bahkan boleh jadi akan dijadikan pahlawan karena
mengangkat prestasi olah raga, seni, dan keilmuan.
Keenam, perluas
kawasan bebas asap rokok, tidak hanya di ibu kota tetapi juga di
daerah-daerah. Kawasan Sekolah, tempat ibadah, fasilitas umum harus
sungguh-sungguh steril dari asap rokok.
Ketujuh, Para tokoh agama,
ulama, kiai, harus bersepakat bulat bahwa merokok adalah haram karena
lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Para tokoh agama, tokoh
masyarakat tidak lagi memberi contoh jelek dengan merokok di depan umum
yang dilihat dan ditiru oleh anak-anak.
(Disampaikan dalam
Lokakarya Kajian Kebijakan Penanggulangan Masalah Tembakau, yang
diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan, di Hotel Sahid Jaya, Bekasi,
Tanggal 12 Desember 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar